Dia Terpaksa Menikahiku

Selama hayat masih dikandung badan, ujian hidup akan selalu mendatangi. Entah itu ujiannya datang dari suami atau istri, kalau tidak dari suami atau istri, ujiannya bisa melalui anak, orang tua, mertua, kalau tidak dari mereka, ya bisa lewat ekonomi, kesehatan ataupun tetangga. Intinya, ya itu tadi, seperti katanya Pak Ustadz, selama raga masih bernyawa,  InsyaAlloh ujian akan tetap ada, karena hal itu merupakan salah satu bentuk cinta Allah pada hambanya. Semoga aku adalah salah satu makhluk yang dicintai Allah karena banyaknya ujian yang aku alami dalam hidupku. Kalau aku dengar ceramah ustadz, hatiku tenang, kepalaku tidak lagi pening. Dan ujian itu tidak luput dari kehidupan rumah tanggaku. Pernikahanku sudah masuk sepuluh tahun, anakku baru satu, baru berusia 8 tahun. Aku, Laila Prahastuti, menikah diusia yang matang, 30 tahun. Pikirku, dengan aku menikah, setidaknya orang tuaku tak perlu khawatir lagi tentang anak gadisnya yang belum laku-laku dan tak perlu lagi dengar ocehan tetangga yang itu-itu saja. 
Aku menikah dengan laki-laki yang diperkenalkan temanku, namanya Ari  Hendrawan, seorang dosen di universitas terkemuka di kotaku. Aku mengenalnya tidak lebih dari lima bulan dan aku memutuskan menerima pinangannya. Memang aku belum cukup mengenalnya, tapi pikirku, dengan bersama, aku akan lebih mengenalnya. Kesan pertama aku mengenalnya, dia laki-laki yang lembut dan perhatian, jarak usiaku denganya terpaut sepuluh tahun, jarak usia yang cukup jauh, saya rasa. Tentu dia akan lebih banyak mengalah dalam menghadapiku dan yang lebih penting, bersamanya aku bisa menjadi diriku apa adanya. 
Banyak hal yang aku lalui dalam kehidupan rumah tanggaku. Jangankan dalam usia pernikahanku yang sepuluh tahun. Dua hari setelah akad nikah saja, banyak hal mengejutkan yang dilakukan suamiku. Ya, secepat itu dia memberiku surprise, kejuatan yang luar biasa untukku dan keluargaku. Setelah akad nikah, aku dan suamiku tinggal di rumah orang tuaku untuk menghabiskan masa cuti menikah, kami tidak berbulan madu kemana-mana, hanya menikmati hari bersama di rumah orang tuaku. Dua hari setelah menikah, suamiku izin ke kampus, ada beberapa hal yang harus diurusnya, kebetulan kampusnya masih satu kota dengan rumah orang tuaku. Namun, yang membuatku bingung setengah mati adalah suamiku tidak pulang setelah ia pamit untuk pergi ke kampus, yang seharusnya menjadi masa-masa indah setelah menjadi pasangan suami istri. Aku dan keluargaku bingung, suamiku tidak pulang dan nomer handphonenya tak bisa dihubungi. Kucoba menghubungi beberapa kerabatnya, tak jua kutemukan titik terang. Aku menangis semalaman, menunggunya pulang atau setidaknya dia menghubungiku atau aku bisa menghubunginya. Kumenangis memeluk baju yang ia pakai sebelum berangkat ke kampus. 
" Bangun, La, sudah subuh! " Kata Bapak lembut mengetuk pintu kamarku
" Ya, Pak " Sahutku. Ternyata aku ketiduran setelah semalaman menanti suamiku pulang dengan penuh air mata. Kulihat handphoneku, tak ada panggilan, tak ada sms. Sebelum beranjak wudhu, kucoba hubungi Mas Ari, panggilanku dialihkan, artinya  hpnya tidak diaktifkan. Ya, Allah apa maksud semua ini, dimana kamu Mas, batinku. Aku beranjak ambil air wudhu, kulaksanakan  shalat dua rakaatku, dalam doaku, aku mengadu pada Allah atas apa yang terjadi padaku hari ini dan meminta hal terbaik untukku dan suamiku.
Pagi ini, tak satu pun orang rumah bertanya mengenai keberadaan suamiku, kurasa mereka cukup paham dengan keadaanku sekarang, sama bingungnya denganku. Segera kuhabiskan sarapan yang dibuatkan ibu untukku, meskipun tak berselera, tapi aku tak ingin membuat ibu khawatir. 
Setelah kuhabiskan sarapanku, aku kembali masuk kamar, mencoba menghubungi Mas Ari untuk kesekian kali, masih tak ada jawaban. Handphonenya masih tak aktif.Tak terasa air mataku berderai, inikah akhirnya? Batinku pilu. Aku tak ingin berakhir seperti ini, kalaupun harus berakhir, tidak dengan cara ini. Apa salahku? Apa yang membuatnya melakukan ini padaku?? Pertanyaan itu terus berputar di hati dan pikiranku. 
Kutunggu kedatangan Mas Ari hingga kupejamkan mata karena kantuk. Aku terbangun sekitar pukul 02.00 dini hari karena aku merasa mendengar seperti ada yang membuka pintu ruang tamu. Kubuka pintu kamar, benar saja kulihat sosok yang sudah dua hari ini kutunggu, ya Mas Ari akhirnya pulang di hari ketiga pernikahan kami. 
" Darimana saja, Mas? " Tanyaku langsung
" Hp tak bisa kuhubungi, kamu pulang pakai apa, aku tidak dengar ada suara mobil! "Cecarku dengan penuh penekanan. 
Mas Ari hanya diam membisu. 
                                      ***
Setelah kejadian semalam, rasa ragu mulai menyelimuti hati dan pikiranku, rasa ini sungguh membuatku tidak nyaman. Apalagi statusku masih pengantin baru, tidak enak terdengar ribut. Tapi, apa yang dilakukan Mas Ari sungguh keterlaluan, di luar jangkauan nalarku. Seandainya  orang lain pernah dalam posisiku ini, mungkin akan memikirkan hal yang sama sepertiku. Aku tunggu  Mas Ari selesai sarapan, aku ingin membicarakan hal semalam yang belum ia jawab. Aku sudah menyiapkan diri untuk mendengar hal terburuk sekalipun dari mulutnya. Kudengar langkah kakinya menuju kamar, aku semakin gugup, haruskah aku bahas hal ini sekarang? Atau membiarkannya berlarut begitu saja? Tidak, tentang batinku, aku harus membicarakannya sekarang, apapun yang terjadi, aku siap, batinku. Pintu kamar dibuka, aku pura-pura fokus dengan acara tv, yang sebenarnya tidak menarik untuk kutonton. 
" Acara apa ini, Dek?? " Tanyanya basa-basi, dia tahu betul apa yang kutonton. 
" Biasa " Jawabku seadanya. 
" Kamu masih kesal? " Pancingnya
Pertanyaan itu langsung menyulut emosiku, pertanyaan macam apa itu, batinku. Seandainya dia dalam posisiku, mungkin dia akan malu menanyakan hal itu. Tapi aku tidak akan menunjukkan marahku, aku harus stay cool. 
" Mobil dan handphonemu mana, Mas? " Kuulangi lagi pertanyaan semalam yang belum dijawabnya. Dia menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Dalam dunia psikologi, gerakan itu pertanda orang yang kita tanya tengah memikirkan jawaban, karena dia bohong sehingga dia perlu berpikir sejenak untuk mengarang jawabannya.
" Mobil di bengkel, Handphoneku hilang " Jawabnya. Aku tidak mau mendengar penjelasannya lagi dan aku tidak mau menambah pertanyaan karena hati kecilku berkata bahwa apa yang diucapkannya itu adalah bohong. Jawabannya hanya akan membuatku semakin kesal dan menumbuhkan rasa ingin tahuku. Baru tiga hari aku menjadi istrinya, aku sudah tidak percaya padanya. Entah apa yang membuatku tak mempercayainya. 
                                ***
Hari ini, hari keempat aku menjadi istrinya. Aku memutuskan untuk tidak lagi membahas hal yang membuat hubunganku dengannya menjadi kaku, meskipun hal tersebut membuatku sangat tidak nyaman. Biarlah dia yang memutuskan untuk jujur padaku. Aku tidak mau terlalu menuntutnya, toh itu mobil dan handphonenya. Jujur, sebenarnya aku malu pada keluarga dan tetangga sekitar, masak iya baru dua hari jadi pengantin, mobil sudah nggak ada?? Mungkin mobil pinjaman! Kalimat-kalimat itu tak sengaja mampir di telingaku dan hal itu mengusik kenyamananku. Bagaimanapun, hal itu mengganggu harga diriku. Pertanyaan dan pernyataan itu seolah-olah mengatakan bahwa kamu ditipu suamimu, kamu tak pandai pilih suami, secara tak langsung mengatakan suamimu penipu dan hal itu sangat menyakitkan. Meskipun aku mengenalnya hanya lima bulan, setidaknya aku tahu kalau mobil itu miliknya, karena sangat tidak masuk akal jika mobil itu merupakan mobil sewaan, iya kan?? Aku mencoba meyakinkan diri bahwa mobil itu miliknya, tapi rasa ragu menghantuiku. Setelah aku ngobrol dengan Mas Ari, akhirnya kami memutuskan untuk tinggal di rumah Mas Ari. Menghabiskan masa cuti di sana, tujuan utamanya adalah menenangkan diri dari semua yang sudah terjadi. Meskipun penyebab semua permasalahan itu tetap bersamaku, tapi setidaknya aku tidak mendengar omongan-omongan tetangga yang tidak menyenangkan. Setelah izin kepada orang tuaku, ba'da shalat magrib kami berangkat menuju rumah  Mas Ari menggunakan sepeda motor. Semoga rumah mungil ini bisa membuatku lebih tenang setelah melalui peristiwa yang sangat menggangguku beberapa hari ini, meskipun hati nuraniku masih menuntut kejujurannya. Karena kami belum makan malam,  Mas Ari izin keluar untuk membeli makanan, sebenarnya hatiku masih was-was membiarkannya keluar seorang diri, khawatir kejadian sebelumnya terulang lagi. Benar saja, hingga pukul sepuluh malam, batang hidungnya belum juga terlihat. Harusnya tadi aku ikut, sesalku. 
                                ***
Pukul empat subuh kudengar motor memasuki gerbang rumah. Aku tak bisa berkata apa-apa lagi. Aku sakit hati. 
" Assalamualaikum, Dek! " Panggilnya pelan. Dengan terpaksa kubukakan pintu, tak ada niat hati melihat wajahnya, apalagi bertanya, setelah membuka pintu, aku langsung memalingkan badan menuju kamar dan menguncinya. Aku tak tahu harus berbuat dan berkata apa. Hatiku terlalu sakit. Aku merasa harga diriku terinjak-injak. Aku yang seorang magister, tak ada nilainya lagi karena perlakuannya, aku terabaikan. Setelah bergulat dengan pikiran dan perasaanku, kuputuskan keluar kamar dan bicara dengannya. Dia tak peduli perasaanku, tak sekalipun ia minta maaf atas semua yang dilakukannya padaku. Dengan santainya kulihat ia tidur di depan TV, tak ada niatnya untuk klarifikasi apapun padaku, seolah tak terjadi apa-apa. 
" Mas, aku mau bicara! "Tegasku
" Ya, bicaralah " Jawabnya seraya bangun dari tidurnya
" Kenapa, kok pulangnya subuh, Mas?? " Tanyaku tegas
"   Aku mampir ke rumah Mbak Yanti, Aga demam, Mbak Yanti minta tolong diantar ke rumah sakit, karena Mas Seno masih di luar kota, ternyata Aga harus dirawat inap, dia typoid. Mbak  Yanti sudah menyuruhku pulang, tapi tak tega melihatnya mengurus semuanya sendiri, jadi aku putuskan menemaninya, dan aku lupa menghubungimu" Jawabnya panjang lebar. Lupa menghubungimu??maksudnya?? Dia lupa sama aku, aku tak dianggapnya, ya, Allah, batinku. Kukuatkan diri untuk tidak menangis mendengar jawabannya. Lagi-lagi tak ada kata maaf darinya. Kupikir dengan tidak adanya proses pacaran, aku akan bahagia dengannya. Kata orang, pacaran setelah menikah jauh lebih bahagia, tapi apa yang aku alami saat ini, jauh diluar kata orang. Kata orang bijak, lagi-lagi aku pinjam kata orang, pernikahan itu tergantung niatnya, jika niatmu ingin mendapatkan harta atau kekayaan, maka ujianmu adalah kesulitan financial atau kemiskinan, jika kamu menikah karena ingin dimuliakan, maka ujiannya adalah kehinaan, tapi jika kamu menikah karena Allah, maka Allah akan memberikan semuanya, kekayaan juga kemuliaan. Dan, niatku menikah adalah agar orang tuaku bahagia, maka inilah ujianku, pernikahan penuh duka, aku serahkan padaMu, ya Rabb, batinku. Setelah mendengar jawabannya, aku ingin menenangkan diri, tak ada niat kroscek jawabannya ke Mbak Yanti, kakak iparku. Aku khawatir semua menjadi tambah rumit. Semoga semua yang dikatakannya  benar, harapku. Aku beranjak meninggalkannya untuk ambil air wudhu, menunggu waktu subuh tiba. Aku ingin berlama-lama bermunajat pada Allah, aku ingin berkeluh kesah padaNya. Satu hal yang aku yakini bahwa tidaklah seorang mukmin tertimpa penderitaan berupa penyakit atau perkara lainnya, kecuali Allah hapuskan dengannya kejelekan-kejelekannya (dosa-dosanya) sebagaimana pohon yang menggugurkan daunnya. Semoga melalui ujian ini, Allah mengampuni dosa-dosaku. 
                                   ***
Tiga hari lagi masa cutiku berakhir, aku sudah tak sabar menunggu hari senin, kampus, aku datang, teriakku dalam hati. Bahagia menyerbak di hatiku, mungkin dengan kembali sibuk berkutat di kampus akan bisa membuatku lupa akan sakit hati dan rasa kecewaku pada Mas Ari. Aku tak sabar ngalor ngidul bareng teman-teman seruanganku yang menyenangkan, Bu dosen Tati yang periang, meskipun belum menikah diusia yang sudah kepala empat, tetap ceria dan keren, Bu dosen Iin yang lembut, pendengar setia kami, aku kangen kalian, batinku. 
Hari ini aku sangat antusias, karena hari ini hari pertamaku ngampus setelah dua pekan aku cuti, aku sangat bahagia. 
" Pengantin baru sudah datang " Sambut  Ibu dosen Tati ceria. 
" Gimana-gimana?? " Lanjutnya sambil terkekeh. 
" Apanya yang gimana, tuh? " Timpal Ibu Iin menuju arah kami. Kami bertiga cekikikan. Tak mungkin aku menceritakan dukaku menjadi pengantin baru, batinku. Cukup kalian tahu bahwa aku bahagia dengan pernikahanku. Hari ini kelasku hanya satu, itupun dimulai agak siang, jadi aku bisa santai dengan kedua rekanku, membahas segala hal, meskipun ada saja kadang hal-hal tidak layak untuk kami bahas, yang penting seru, lumayan untuk menghilangkan semua rasa yang tidak enak di hati dan pikiranku. Tadi pagi aku berangkat ke kampus bareng Mas Ari menggunakan sepeda motor, pulang pun demikian. Karena sampai hari ini mobilnya belum diambil ke bengkel, yang katanya rusak. Tapi handphonenya yang katanya "hilang" telah ia temukan. Meskipun aku tak yakin dengan ceritanya pada kejadian sebelumnya, namun kini aku lebih memilih diam, malas rasanya untuk bertanya karena aku tak mau berdebat lagi, aku tahu tak akan mendapatkan jawaban yang sebenarnya. Kini aku merasa sanksi dengan suamiku, sanksi juga dengan kelanjutan rumah tanggaku. Karena rasa sanksi itu, kini aku sanksi untuk memiliki anak. Meskipun demikian, aku yakin takdir Allah adalah yang terbaik, karena Allah tidak akan menzhalimi hambanya, segala sesuatu yang terjadi pasti atas kehendak-Nya, Kupasrahkan hidupku padaMu ya Rabb, batinku. Meskipun aku sanksi dengannya, namun aku tetap mencoba melupakan semua yang sudah terjadi, aku ingin bersikap biasa saja seolah-olah tidak ada yang terjadi, meskipun sulit, aku akan coba melakukannya, semua kulakukan demi hatiku, demi perasaanku, aku ingin bahagia, pekikku dalam angan. Tak terasa sebulan sudah aku berumah tangga, Mas Ari tak lagi melakukan hal-hal aneh, aku mulai belajar percaya padanya, hari-hari dalam pernikahanku bersamanya mulai hangat, rasa curigaku padanya mulai berkurang, aku merasa lega dengan perasaanku sendiri. Namun, apa yang perasaanku rasakan berbanding terbalik dengan keadaan fisikku, akhir-akhir ini badanku sedikit lemas dan kepalaku pusing. Aku hanya tiduran, tak banyak aktifitas yang bisa kuakukan. Karena khawatir, Mas Ari mengajakku mengunjungi dokter, meskipun enggan, tapi demi kebaikanku, tak ada salahnya kupatuhi. Seperti biasa, dokter memeriksaku dengan saksama, menanyakan keluhan-keluhanku. Setelah memeriksaku, dokter memberiku sebuah testpeck. Deg, hatiku tak karuan. Hamilkah aku?? Pikirku tak karuan. Kubaca petunjuk yang tertera. Ya Allah, bisikku pelan pada diriku sendiri. Setelah kembali ke ruangan dokter dari kamar mandi. Kuserahkan kembali testpeck kepada dokter. Dokter melihat hasil tespeck. Meskipun aku sudah tahu hasilnya, hatiku tetap deg-degan menunggu reaksi Mas Ari. 
                                 ***
" Selamat Bapak, Ibu positif hamil " Terang dokter Carlof. Terlihat raut wajah bahagia Mas Ari mendengar kabar yang disampaikan dokter. Aku lega melihat wajah bahagianya. Semoga ini menjadi awal yang lebih baik, batinku. Namun, harapanku sirna, ketika masuk satu bulan usia kandunganku, aku terkejut dengan chat wa masuk ke handphoneku. 
(Kapan mobilnya mau ditebus?) Mobil apa yang mau ditebus








                               ***
                                    


Komentar

  1. Lanjutttt........
    Ceritanya bagusss bangettttt

    BalasHapus
  2. Mantaaap... semangat kk.. teruslah berkarya.. nnti bisa jadi novel ala2 layangan putus.. insyaAllah..

    BalasHapus
  3. Mantab ceritanya bu guru ...ditunggu lanjutannya....

    BalasHapus
  4. Jangan lupa follow blog sy y, biar sy tmbah semangat upload lnjutan ceritanya😊😊

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pertemuan Pertama kelas XII TP 2023/2024

Pengumuman Kelulusan Peserta Didik SMA/SMK Provinsi Nusa Tenggara Barat

Berbagi Informasi Tentang Pengambilan Keputusan Berbasis Nilai-Nilai Kebajikan sebagai Pemimpin Pembelajaran